Desa Bahasa Ngargogondo Bangkit Lagi

Suara Kedu
12 Juni 2011

  • Oleh MH Habib Shaleh
SETELAH ‘’mati suri’’ sekitar tiga setengah tahun, Desa Bahasa Ngargogondo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang kembali menggeliat lagi. Desa Bahasa yang didirikan Hani Sutrisno SPd pada 1998 bangkit dengan membawa konsep baru.
Kurikulum Desa Bahasa tidak sekadar mengajarkan pendidikan bahasa Inggris, namun juga pendidikan keterampilan hidup, dan pengembangan sumber daya masyarakat. Desa Bahasa berusaha mengajarkan pengetahuan untuk memudahkan masyarakat meraih kemandirian hidup. 



Siswa Desa Bahasa tidak sekadar murid yang belajar berbahasa Inggris. Mereka sekaligus juga menjadi seorang ‘’guru’’. Setiap siswa yang minimal sudah mengikuti lima kali pertemuan diharuskan untuk praktik mengajar pada rekan-rekannya ataupun yuniornya.

Langkah ini ternyata ber­dampak positif terhadap kemampuan berbahasa Inggris seorang peserta didik. Mereka lebih cepat menguasai bahasa Inggris meskipun awalnya sama sekali tidak mengenal bahasa tersebut.

”Jika di sekolah atau lembaga pendidikan lain seorang anak akan lebih dulu diajari structure baru conversatiton maka kami sebaliknya. Yang penting anak bisa ngomong dulu, strukturnya kami benahi pelan-pelan,” kata Hani Sutrisno ditemui di Padepokan Desa Bahasa di Desa Ngargogondo, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jumat sore lalu.
Hani menyebut konsep ini sebagai simple engglish course (Spec). Lewat Spec Hani ingin masyarakat di sekitar Candi Borobudur untuk me­lek bahasa Inggris. Hal ini tak terlepas dari keberadaan Candi Boro­budur sebagai magnet pariwisata.

Apalagi kini pariwisata di Magelang tidak lagi berpusat di candi warisan Dinasti Syailendra tersebut. Desa-desa di sekitar candi kini berkembang menjadi Desa Wisata yang menawarkan objek-objek wisata alternatif seperti kehidupan pedesaan, pertanian, kerajinan, kesenian tradisional dan tentu saja panorama alam nan indah.

Meraih Prestasi

Desa Bahasa yang diresmikan oleh Mendiknas Bambang Sudibyo tersebut sempat tidak aktif mulai 2007 hingga 2011. ”Kami punya masalah kompleks. Member­dayakan masyarakat sangat tidak mudah. Banyak sekali tantangannya,” kata dia.

Hani menceritakan selama sembilan tahun aktivitas Desa Bahasa mulai 1998-2007 telah melahirkan banyak prestasi. Tidak hanya warga desa mulai ibu-ibu hingga kakek nenek yang mahir cas cis cus berbahasa Inggris. Sejumlah alumnus Desa Bahasa Ngargogondo bahkan dapat meraih prestasi tinggi. Sebut saja Mustofa yang menjuarai Debat Bahasa Inggris tingkat Kabupaten Magelang, Fenti yang menjadi juara pertama pidato bahasa Inggris tingkat Jawa Tengah dan Nova Darmawanto yang juara 3 tingkat SLTA se-Jateng.

Untuk bisa mengulang prestasi tersebut, Hani merelakan diri untuk mundur sementara dari Lembaga Pendidikan Bahasa Inggris (LPBI) SPEC yang didirikannya. Ia me­ngonsentreasikan diri untuk kembali membangkitkan Desa Bahasa yang sempat mati suri.

”Saya juga memutuskan untuk bertempat tinggal di Padepokan Desa Bahasa. Ini untuk memudahkan aktivitas pembelajaran. Maklum Padepokan hanya libur setiap Senin. Di sini selalu ramai anak-anak belajar. Hari Minggu bahkan full dari pagi sampai sore,” kata dia.
Saat ini sekitar 40 anak dari tujuh dusun di Desa Ngargogondo belajar bahasa Inggris di Padepokan tersebut. Mereka tidak dikenakan biaya alias gratis. Untuk tahap kedua, jumlah murid akan ditambah dengan melibatkan anak-anak di luar Desa Ngargogondo.

Untuk menunjang biaya operasional, anak-anak di luar Ngar­go­gondo akan dikenakan biaya admi­nistrasi dengan besaran Rp 30 ribu untuk SD dan Rp 40 ribu untuk SMP dan SMA per bulan. Jumlah ini tentu tak cukup untuk membiayai operasional Padepokan Desa Bahasa.

Hani menyebut dirinya memang menjadikan padepokan sebagai ladang amal akhirat. Karena itu, ia tak ragu menyisihkan 10 persen keuntungan dari perusahaan milik­nya. Sebanyak 2,5 persen ia guna­kan untuk zakat dan 7,5 persen untuk operasional Desa Bahasa.

Ayah dari Lady Hanifah ini meng­aku berutang banyak dengan pariwisata Borobudur. Dari wisatawan mancanegara yang mengunjungi Candi Borobudur inilah Hani bisa memeroleh pendapatan untuk menamatkan pendidikan.
Hani kecil awalnya menjual post card bergambar Candi Borobudur saat menginjak kelas 1 SMP. Ia melakoni bisnis kecil tersebut sampai lulus sekolah. Uniknya, Hani tidak menguasai bahasa Inggris meski setiap hari berkomunikasi dengan para turis. ‘Para Londo’’ tersebut tetap bisa menangkap apa yang ditawarkan Hani meski kosa katanya terbalik-balik. ”Saat menawarkan post card kata-kata andalan saya adalah buy me, buy me! Mereka tersenyum tapi tetap membeli yang saya tawarkan.”

Begitu juga ketika Hani mena­nyakan apakah para turis asing tersebut memiliki uang receh. Hani menga­takan, ”You have money small?”  Padahal kalimat yang benar adalah ”Do you have small money.”
Selepas SMP, Hani melanjutkan pendidikan ke SMA di Jombang Jawa Timur. Empat tahun berikutnya ia merantau ke Bandung, Jawa Barat. Keberhasilan meraih cita-cita ini mebuat Hani muda teringat kampung halamannya; Desa Ngar­gogondo yang asri dengan peman­dangan indah pegunungan Menoreh sampai masa kecil penuh perjuang­an di pelataran Candi Borobudur.

Maka pada tahun 1998, Hani pulang dan kemudian merintis pendirian Desa Bahasa. Ia mengajari anak-anak desa di sekitar Candi Borobudur bahasa Inggris. Tak cukup itu, ia juga mengajak para orang tua untuk mengerti bahasa Inggris. Kehadiran Desa Bahasa ini mendorong para pedagang di Borobudur mengerti bahasa Inggris.
”Bahasa Inggris adalah bahasa pergaulan internasional. Banyak turis yang ke Borobudur. Kita harus bisa berkomunikasi dengan mereka. Tidak hanya agar mereka betah tinggal di Desa Wisata namun juga transfer knowledge. Kita harus maju dan banyak belajar.” (47)

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/06/12/149314/Desa-Bahasa-Ngargogondo-Bangkit-Lagi



Lokasi awal mula Desa Bahasa

Tidak ada komentar:




BACA JUGA